Sawang Sinawang - Cerita Kanjeng
SAWANG-SINAWANG
"Kang Warno kae piye hlo, Pakne?" Yu Seger ngajak glenikan bojone.
"Piye apane?" tukas Kang Waras.
"Dia itu kan sudah tuwek. Umurnya sudah lewat 45. Mungkin sudah 50 malahan. Kok belum mau nikah?"
"Menurutmu itu salah?"
"Ya terang salah. Kasihan ibunya. Sendirian. Gak ada teman. Kalau punya anak mantu kan jadi ada teman, minimal untuk dijak rasan-rasan."
"Jadi menurutmu, Kang Warno itu tega sama orangtua?"
"Ya pasti."
"Kamu sudah berani memastikan bahwa Kang Warno itu anak yang tidak berbakti tapi kamu nggak tahu situasi di keluarganya yang pasti. Kamu itu mung nyawang dari kejauhan. Ora weruh sing tenanan."
"Situasi yang mana?"
"Bapaknya Kang Warno masih hidup kamu ora ngreti."
"Hah?"
"Nggak usah njomblak, Bune."
"Yen pancen isih urip kok nggak ada bersama ibunya di rumah itu? Pegatan?"
"Bapaknya tinggal sendiri di sana, di kampung sebelah. Neng omah ijen tanpa teman. Tapi bukan karena pegatan."
"Kok gitu?"
"Justru itu yang mendasari Kang Warno emoh nikah nganti saiki. Bapaknya itu gangguan jiwa. Ibunya nggak sanggup merawat. Jadinya mereka pisah rumah. Kang Warno yang wira-wiri ngetan-ngulon ngopeni kekarone."
"Oh jadi dia itu malu kalau nikah terus isterinya tahu bahwa mertuanya gila?"
"Husss..., omonganmu kok kasar?! Bukan karena malu, Bune. Tapi Kang Warno takut kalau setelah menikah jadi tidak punya waktu yang cukup untuk bekti kepada kedua orangtuanya yang keadaannya sama-sama butuh perhatian istimewa."
"Apanya yang istimewa?"
"Makanya kamu itu kalau jadi tetangga jangan ndhekem di rumah saja. Kalau punya tetangga itu ya diperhatikan juga. Dianguk, ditoleh, digatekke."
"Hehehe..., maaf, Pakne. Aku kurang waktu untuk nggatekke kanan-kiri."
"Hla kalau sudah sadar begitu ya jangan asal ngomong menyimpulkan sikap tetangga!"
Yu Seger mlengeh. Antara rasa malu, keinginan hendak merayu agar dimaafkan dan takut digremengi jadi satu di wajahnya.
Kang Waras ngomong lagi, "Coba kamu lihat polahe Kang Warno. Pagi selepas subuh ke pasar belanja kebutuhan dapur untuk ibunya. Pulang dari pasar wis kudu kesusu ngantar sarapan untuk bapaknya. Jam setengah pitu mbalik mrene meneh. Jam pitu budhal kerja. Nanti jam 12, pulang sebentar, berangkat lagi ngantar makan siang untuk bapaknya. Jam 1 budhal kerja lagi. Nanti jam 4 sampai di rumah. Jam 5 berangkat ngantar makan malam untuk bapaknya lagi. Habis isya pulang ke sini. Nanti jam 11 malam nganguk bapaknya lagi, ngancani nganti subuh."
"Begitu terus tiap hari, Pakne?"
"Ya kamu lihat saja sendiri."
"Itu rutin dilakukan?"
"Amati saja sendiri."
"Itu rutin dilakukan sejak kapan?"
"Tanyakan saja sendiri."
"Kenapa aku harus cari jawabannya sendiri? Kan Pakne sudah tahu semua.
"Biar kamu nggak tuman nyawang tetangga dari kejauhan. Ben ora kejlungup pijer sawang-sinawang."
"Hmmm...."