"Cita-Cita Yang Tidak Diinginkan" - Cerita Kanjeng
CITA-CITA YANG TIDAK DIINGINKAN
Glenak-Glenik Seger-Waras
Yu Seger ujug-ujug datang menyerang suaminya dengan rentetan peluru kata-kata, "Pakne, besok-besok kalau ada tamu nagih utang itu jangan sampai ngobrol di dekat anak kita. Atau kalau dia pas ada di rumah ya disuruh masuk kamar atau disuruh main ke rumah tetangga sana. Atau kalau nggak ada tetangga yang pintu rumahnya terbuka, suruh saja dia main ke lapangan sana. Atau, ah terserah lah. Pokoknya jangan ngrembug utang di depan anak. Efeknya ternyata berbahaya."
Kang Waras ndlongop agak lama.
"Kok Pakne diam saja? Paham nggak yang aku katakan barusan?"
"Ora."
Aduuuhhh..., Pakne itu tahu nggak apa yang tadi disampaikan gurunya waktu kunjungan?"
"Ora."
"Gurunya tadi bilang kalau anak kita itu nggak punya cita-cita. Paham nggak?"
"Ora."
"Kok ora-ora terus njawabnya? Aku ini ngomong serius, Pakne. Ngerti nggak sih?"
"Ora. Wis dijawab ora sejak tadi kok isih mempeng takon wae? Aku ora mudheng karepmu. Intinya itu apa?"
"Dhuh Gusti, punya suami kok ndableg nggak ketulungan. Begini hlo, Pakne. Anak kita itu ditanya gurunya, cita-citanya apa. Pakne tahu nggak apa jawabnya?"
"Ora. Wis jelas ngono kok ditakonke? Genah aku ora ngreti. Rumangsamu aku melu sekolah?"
"Aaahhh..., takkasih tahu ya. Dia njawab cita-citanya itu ingin supaya nanti dia mati tanpa punya tinggalan utang."
"Apik kuwi."
"Baik apanya?? Cita-cita itu jadi pilot, jadi dokter, jadi direktur bank, atau minimal jadi polisi. Itu cita-citanya anak normal. Yang punya cita-cita nyleneh itu cuma anakmu saja, Pakne."
"Hlo, kok berubah? Tadi kamu bola-bali bilang anak kita. Kok sekarang bilang dia cuma anakku? Kan kamu yang dulu nglairke dheweke. Lupa ya?"
"Jangan guyon, Pakne. Ini gawat. Ini pasti gara-gara dia sering tahu kalau bapaknya banyak kerepotan berurusan dengan dhuwit utang-utangan. Jadinya dia stres. Depresi. Lalu dia menyimpulkan bahwa hidup yang aman-tenteram itu adalah hidup yang tanpa dhuwit utangan."
"Apik banget kuwi, Bune. Kesimpulan seorang anak yang cerdas."
"Itu bukan tanda cerdas, Pakne. Itu tanda stres."
"Yang bilang kalau dia stres itu siapa? Guru BK? Atau psikolog?"
"Yang bilang ya aku dhewe."
"Ah, jelas nggak valid. Kamu itu nggak punya kompetensi menilai kondisi kejiwaan orang."
"Tapi kan dia anakku. Aku ibunya. Aku yang paling tahu."
"Oh saiki wis eling yen cah kuwi anakmu?"
"Stop bercandanya, Pakne. Please.... Aku stres ini."
"Kamu kok mencla-mencle? Tadi bilang anakmu stres. Sekarang kamu bilang kamu sendiri stres. Mosok wong stres arep ngurusi bocah stres? Apa nggak akan semakin stres?"
"Embuh! Diajak ngomong istri kok selengekan nggak karuan."
"Wis. Ra sah mumet, Bune. Cita-citane anakmu kuwi apik. Yang justru elek kuwi cara pandangmu soal urusanku."
"Maksude Pakne itu piye?"
"Maksudnya: yang membikin repot urusanku itu, yang juga membuat tiap hari didatangi tamu itu bukan perkara utangan."
"Terus apa?"
"Kreditan."
"Ooo..., pancen wong ora genah," seru Yu Seger yang raut mukanya semakin kelihatan nggak seger lagi sambil balik kanan meninggalkan Kang Waras yang dianggapnya semakin kurang waras.